Ada anggapan bahwa Nganjuk memiliki peradaban yang tua
kiranya ada benarnya, hal ini cukup beralasan karena hampir di berbagai lokasi
yang ada di wilayah Kabupaten Nganjuk ditemukan benda-benda purbakala. Seperti
halnya hari Jum’at kemarin (4/11), telah ditemukan kembali benda yang diduga
sebagai cagar budaya di Kelurahan Jatirejo Kecamatan Nganjuk. Tepatnya di jl.
Letjen Sutoyo III, di pekarangan milik Nining Hargiani warga Kelurahan Bogo
Kecamatan Nganjuk. Temuan benda purbakala tersebut dilaporkan pemilik tanah
pada pukul 15.00 WIB kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nganjuk.
Dari laporan tersebut Kasi Sejarah, seni tradisi, museum dan kepurbakalaan langsung
menindaklanjuti dengan meninjau langsung ke lapangan 15 menit berikutnya. Dari
pengamatan di lapangan, memang terdapat batu dengan bentuk yang unik, dimana
dari bentuknya maupun ornamen yang ada sangat berbeda dari temuan yang ada di
Nganjuk selama ini. Pada bagian atas berbentuk segi empat berlubang seperti
bentuk bak mandi dengan ukuran panjang dan lebar yang hampir sama sekitar 60 cm
serta pada salah satu pojoknya ada
lubangnya. Sedangkan pada bagian bawah berbentuk persegi panjang dengan
panjang yang belum bisa diketahui dengan pasti, sedangkan yang bisa terlihat saat
itu baru sepanjang 50 cm. Hal itu dimaklumi mengingat keterbatasan peralatan
yang dibawa saat itu untuk menggali lebih dalam. Rencananya Tim dari Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nganjuk akan melakukan penggalian lebih
lanjut besok hari Senin (7/11). Menurut Amin Fuadi, Kasi Kasi Sejarah, seni
tradisi, museum dan kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Nganjuk yang mengecek langsung temuan tersebut, benda tersebut jelas benda
purbakala, karena dilihat dari bentuk dan tata pahatnya. “Namun demikian bentuk
apa belum bisa dijelaskan karena cukup unik bentuknya, seperti bentuk lapik,
tapi juga ada seperti bak air” begitu penjelasan Amin Fuadi. Untuk memastikan
apa nama benda tersebut masih akan dikoordinasikan dengan BPCB Jawa Timur di
Trowulan. “Akan kita datangkan tim yang memang ahlinya dari Mojokerto yaitu
BPCB, mereka punya arkeolog yang akan
mengkaji lebih jauh apa benda tersebut” begitu imbuhnya. Sementara itu menur ut Nining Hargiani, pemilik tanah yang sudah
membelinya sejak sekitar 10 tahun lalu yang juga sebagai PNS dari UPTD Dikpora Kecamatan
Nganjuk, benda tersebut sudah cukup lama diketahuinya, namun dikiranya hanya
batu biasa sisa bangunan dari tetangga sebelah. Namun saat dilakukan
pembersihan pekarangan oleh keponakannya, di sekitar batu tersebut ikut
dibersihkan dan digali sebagian barulah diketahui bahwa bukan batu biasa. Dari
cerita tetangganya dikatakan batu itu sering berpindah tempat, bahkan dulu
sudah pernah digali dan diangkat oleh 4 orang namun tidak mampu mengangkatnya. Karena merasa takut
atas temuan benda tersebut, maka oleh Nining Hargiani segera dilaporkan kepada
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nganjuk sebagai Dinas yang bertugas menangani cagar budaya. Dia
juga menyatakan tidak keberatan jika dikemudian hari benda tersebut dinyatakan
benar sebagai benda cagar budaya oleh para arkeolog dan harus dilakukan
penyelamatan dengan dipindahkan ke museum Anjuk Ladang.
Sabtu, 05 November 2016
Rabu, 21 September 2016
Apa bedanya Jerman dan Jepang?
Jerman dan Jepang, keduanya sama-sama negara
makmur. Sama-sama diawali huruf J (maksa banget deh he..he..) dan sama-sama
negara penguasa teknologi canggih. Di masa silam mereka juga sama-sama pelaku
perang besar. Lalu apa beda di antara keduanya ? Tahun 1991, sejarah tercipta
di Jerman.
Dengan elegannya parlemen Jerman menyampaikan
secara resmi pernyataan nasional mengenai permintaan maaf mereka kepada dunia
atas sepak terjangnya mereka di masa silam terutama dalam Perang Dunia II yang
sudah membuat dunia menderita. Mereka juga meminta maaf atas kejahatan
kemanusiaan yang mereka lakukan, yaitu genosida terhadap kaum Yahudi, kaum
Gipsi dan para penyandang cacat. Setelah menyampaikan permintaan maaf mereka
mengheningkan cipta untuk semua korban kekejaman mereka di masa lalu.
Jika Jerman dengan rendah hati meminta pengampunan kepada korban-korbannya,
Jepang tidak.
Memang mereka mengakui sebagai aktor Perang
Pasifik. Mereka memang mengakui adanya Jugun Ianfu maupun Romusha. Mereka
memang sudah memberikan kompensasi perang kepada pemerintah sebagian negara
yang dibuat menderita oleh Perang Pasifik. Tapi ada satu yang tidak mereka
lakukan. Mereka tidak mengakui kesalahan kolektif sebagai bangsa dan mereka
tidak pernah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan nasional mengenai
semua kejahatan di masa lalu. Sebagaimana karakter orang Timur yang memegang
teguh harga diri, alih-alih meminta maaf secara terbuka Jepang lebih memilih
memberikan kompensasi uang atau bunuh diri untuk menebus kesalahannya.
Itulah
yang membedakan Jerman dengan Jepang. Bila Jerman sekarang bagaikan sudah bebas
dari belenggu masa lalu dan bebas bergerak ke masa depan, maka Jepang tetap
terbelenggu oleh masa lalu. Teriakan demonstran para mantan Jugun Ianfu tetap
bergema ke arah Tokyo, terutama di setiap bulan Agustus. Ketegangan masih
mewarnai hubungan Jepang dengan Cina, Korea Utara maupun Korea Selatan. Apalagi
dalam perkembangan terakhir mereka mulai merevisi sejarah nasional mereka
dengan menghapus beberapa catatan sejarah yang dinilai merugikan citra mereka.
Tampaknya walaupun sejumlah besar uang sudah
digelontorkan, beban sejarah tidak akan terangkat dari pundak negara Jepang.
Semuanya berawal karena tiadanya kerendahan hati untuk meminta maaf dan
pengampunan secara moral. Jerman, sebagaimana negara yang lain juga
memiliki kesulitan dan masalah dalam negeri yang segudang banyaknya, bahkan
mereka juga terus bergulat dengan bangkitnya gerakan Neo Nazi. Tapi mereka
menindaklanjuti permintaan maaf dengan tindakan nyata. Mereka membuka pintu
selebar-lebarnya kepada imigran dari Timur Tengah dan Turki sehingga populasi
keturunan Turki dan Iran cukup besar di sana. Bila trend di
negara-negara lain adalah membangun tembok pemisah, mereka malah menghancurkan
tembok Berlin pemisah persaudaraan mereka. Bila trend kebanyakan negara lain
adalah memisahkan diri atau memekarkan diri (contoh Uni Soviet, Cekoslovakia,
Yugoslavia dan lainnya), mereka malah menerapkan prinsip bahwa saudara yang
lebih mampu harus merangkul saudara yang kurang mampu. Buktinya walaupun
terjadi ketimpangan sosial ekonomi yang sangat besar, Jerman Barat tetap mau
bersatu dengan Jerman Timur. Jerman Barat yang lebih makmur mau merendahkan
diri untuk kemakmuran bersama dengan Jerman Timur. Memang mahal ongkos politik
dan sosial yang ditanggung Jerman Barat, tapi demi kemakmuran bersama mereka
rela bersatu. Bandingkan dengan Korea Utara dan Korea Selatan yang sampai
sekarang masih terus beradu. Contoh kasus yang mutakhir di Jerman adalah
penjaga gawang Timnas Jerman, Robert Enke yang bunuh diri karena menderita
depresi berkepanjangan selama 6 tahun terakhir yang disebabkan oleh
meninggalnya putri tercintanya. Lihatlah betapa dewasanya rakyat Jerman dalam
menanggapi kematian tragis seorang atletnya.
Kompas edisi 13 November 2009 menulis pandangan
publik Jerman seperti di bawah ini: “Nyonya Enke ingin agar publik tahu
bahwa kita harus belajar bagaimana membuka diri”, kata Martin Kind, presiden
Klub Hannover. “Tragedi Enke ini membuat kami berpikir, banyak hal yang telah
kami remehkan”, demikian kata Manajer Tim hannover, Joerg Schmadtke.
Tampaknya, kerendahan hati, berani meminta maaf, belajar dari kesalahan dan
bergerak maju, itulah semangat Jerman. Mari kita berkaca. Negara kita
tidak pernah meminta maaf secara terbuka kepada korban tragedi 1965. Tidak
pernah meminta maaf secara resmi kepada Aceh dan Papua. Tidak pernah meminta
ampun kepada sebagian rakyat yang sudah menderita aniaya dan diskriminasi.
Tidak pernah mengakui adanya pelanggaran HAM di masa lalu. Kita susah bergerak
maju. Kaki kita terbelenggu oleh dosa-dosa masa silam sementara mulut kita
terus berbusa mengoceh, berdebat dan mempolitisir segala sesuatu.
Mungkin kita harus lebih banyak berdoa karena
tampaknya Tuhan tidak berpihak kepada kita yang angkuh dan tidak mau mengakui
apalagi memperbaiki kesalahan. Cukuplah generasi kita saja yang dengan bodohnya
menghalangi berkah Tuhan turun ke atas kita. Jangan sampai kebodohan ini kita
wariskan kepada anak cucu kita. Maaf kalau tulisan di atas terlalu
subyektif. Anda bisa mengungkapkan persetujuan, ketidaksetujuan atau
klarifikasi mengenai apa yang saya tuliskan di atas. Ngomong-ngomong, Australia
juga mengikuti jejak Jerman. Tahun yang lalu, sang perdana menteri yang baru
beserta seluruh anggota parlemen Australia menyampaikan permintaan maaf secara
terbuka atas kekejaman mereka kepada Suku Aborigin di masa lalu. Kita lihat
saja apakah Tuhan akan memberkahi rakyat mereka setelah tindakan mereka itu.
(Dikutip dari http://www.kompasiana.com/osakurniawanilham/apa-beda-jerman-dengan-jepang_54ff225aa33311344450fb59)
(Dikutip dari http://www.kompasiana.com/osakurniawanilham/apa-beda-jerman-dengan-jepang_54ff225aa33311344450fb59)
Sabtu, 17 September 2016
De Geschiedenis van de Suiker Onderneming in Indonesie
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia sejak dahulu kala memiliki daya
tarik yang sungguh luar biasa bagi pedagang-pedagang asing untuk singgah dan berdagang
di Indonesia. Terutama pedagang dari Cina, Persia, Arab, India dan Eropa. Pada
awal abad ke-16 bangsa Eropa yang masuk pertama kali di Indonesia adalah bangsa
Portugis, mereka mendarat di Maluku (Moluccas) untuk berdagang dan mencari
rempah-rempah serta menyebarkan agama Nasrani di Maluku. Namun kedatangan Portugis
tidak berlangsung lama karena mereka mendapatkan banyak tentangan dan
perlawanan dari masyarakat dan kaum bangsawan di Maluku, mereka akhirnya lari
ke Timor Timur dan menjajah negeri itu hingga tahun 1975.
Tidak lama setelah Portugis pada tahun 1528
Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman datang di
Indonesia dan tiba di Banten dengan 4 kapalnya. Pedagang-pedagang Belanda
mendirikan kongsi dagang di Hindia Timur dengan nama VOC yang bertujuan untuk
menguasai kekayaan alam Indonesia dan menyaingi kongsi dagang milik Inggris
(EIC/East India Company), Perancis dan negara-negara Eropa lain.
Faktor-faktor yang membuat bangsa Eropa
mencari rempah-rempah dan barang-barang lain di Asia salah satunya adalah
ditutupnya Selat Boshporus di Turki sebagai pintu masuk ke Konstantinopel
dimana kota tersebut banyak disinggahi pedagang-pedagang Asia yang menjual
rempah-rempah dan barang kebutuhan lain dengan harga terjangkau. Setelah kota
Konstantinopel dikuasai oleh Kesultanan Turki Utsmaniyah dibawah pemerintahan Sultan
Muhammad Al-Fatih II menerapkan kebijakan untuk menutup Konstantinopel
(setelah dikuasai Kesultanan Utsmani dirubah
namanya menjadi Islambul pada tahun 1924 dirubah lagi menjadi Istanbul oleh Mustafa
Kemal Attaturk) yang menjadi kota pelabuhan teramai tersebut dan diperuntukkan hanya untuk
pedagang-pedagang tertentu terutama pedagang Muslim.
Pada awalnya VOC dilindungi, dilegalkan
dan diberi kewenangan oleh Kerajaan Belanda. Namun, akibat kewenangan yang
diberikan oleh Kerajaan kepada VOC, mereka bersikap serakah dan egois demi
tujuan mereka. Pada tahun 1799 VOC bangkrut diakibatkan banyak pegawainya yang
korupsi, pemerintah Kerajaan Belanda kemudian mengambil alih VOC.
Terjadinya Revolusi Industri di Eropa
yang diawali Inggris dengan ditemukannya mesin uap dan penggunaannya dalam
berbagai bidang menandai perubahan sistem kerja dalam kegiatan produksi pada abad
ke-18 dengan cepat mengubah tatanan kehidupan masyarakat, serta merubah
orientasi ekonomi masyarakat dari tingkat mikro, menengah hingga makro. Dengan
cepat pula Revolusi Industri merambah di luar Inggris seperti di Belanda, Perancis,
Jerman, Rusia dan negara Eropa lain.
Hal ini berdampak pada daerah jajahan
mereka di Asia, khususnya jajahan Belanda yaitu Indonesia. Industrialisasi di
wilayah Indonesia yang pada masa itu dikenal sebagai Hindia Belanda (Indonesia),
telah dimulai sejak mereka mengambil alih aset-aset VOC. Bahkan Gubernur
Jenderal Herman Willem Daendels selama menjabat di Hindia Belanda
membangun sejumlah pabrik senjata untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan
bala tentara Inggris.
Industrialisasi semakin menggeliat ketika
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuat Undang-Undang Agraria pada akhir
abad 19 yang ingin menjadikan Indonesia sebagai tempat penanaman modal swasta
asing yang membuat Hindia Belanda (Indonesia) sebagai kekuatan ekonomi terbesar
di Asia bahkan dunia melalui industri pengolahan gula, karet, teh, kayu, tembakau
dan lain sebagainya yang masih berjalan hingga awal Perang Dunia II, dan kemudian
diikuti dengan penerapan politik pintu terbuka.
Pemerintah Kolonial Belanda ingin
menjadikan Indonesia (Hindia Belanda) sebagai penghasil gula terbesar di dunia.
Faktor lain yang menyebabkan Belanda ingin menjadikan Indonesia sebagai
penghasil gula terbesar antara lain setelah Spanyol menjadikan Kuba sebagai
penghasil gula terbesar di dunia. Bukti pemerintah kolonial Belanda ingin
menjadikan Hindia Belanda sebagai daerah penghasil gula terbesar diwujudkan
dengan mendirikan beberapa pabrik gula hampir di seluruh Jawa, sebagian Sumatra
dan beberapa di Sulawesi. Untuk di Jawa Timur termasuk dalam jumlah yang cukup
banyak. Demikian halnya di Kabupaten Nganjuk didirikaan beberapa diantaranya
Pabrik Gula (PG) Djati, PG Lestari, PG Djoewono, PG Baron, dan PG Koedjonmanis.
Tidak hanya membangun pabrik, pemerintah
kolonial Belanda juga membangun beberapa akses untuk mempermudah kelancaran dan
jalannya industri tersebut dengan membangun
fasilitas operasional industri-industri tersebut, mulai dari rel kereta
api, pelabuhan-pelabuhan barang, pembangunan pusat perumahan bagi para buruh
dan karyawan yang menjadi satu kompleks dengan pabrik tempat mereka bekerja
serta penelitian-penelitian guna menghasilkan barang yang bermutu dan bernilai
jual tinggi untuk di ekspor.
Saat ini sulit untuk kita mengulang
kembali kejayaan industri seperti pada masa Hindia Belanda, akan tetapi
sisa-sisa kejayaan tersebut masih bisa kita lihat dimasa sekarang, terutama
Jawa Timur dan khususnya kabupaten Nganjuk yang pernah menjadi pusat
pertumbuhan industri di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda hingga awal
kemerdekaan Indonesia, terlihat dari beberapa kawasan industri dan pabrik yang
dibangun di Kabupaten Nganjuk khususnya dan Jawa Timur pada umumnya, baik masih
beroperasi maupun tidak.
Berdasarkan latar belakang diatas,
penulis ingin mengupas satu tajuk yang lebih spesifik yaitu tentang Sejarah
Pabrik Gula yang ada di Kabupaten Nganjuk. Hal tersebut cukup menarik bagi
penulis karena selain juga pabrik gula tersebut berlokasi di wilayah Kabupaten
Nganjuk yang harus diketahui sejarahnya oleh masyarakat Nganjuk khususnya dan
Jawa Timur pada umumnya, juga mencari jawaban atas pertanyaan mengapa dari 5 (lima)
pabrik gula saat ini tinggal 1 (satu) yang masih beroperasi.
1.2.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain
:
ü Menelusuri sejarah pabrik gula yang ada
di Kabupaten Nganjuk;
ü Mengetahui dampaknya terhadap keadaan
sosial ekonomi masyarakat saat itu;
ü Memberikan gambaran dan informasi kepada
masyarakat tentang sejarah perjalanan pabrik gula di Kabupaten Nganjuk.
1.3.
Ruang lingkup Penulisan
Dalam penulisan dibatasi pada dua ruang lingkup yaitu ruang lingkup
spasial (batasan wilayah penelitian dilaksanakan) yaitu Pabrik Gula di
Kabupaten Nganjuk, ruang lingkup temporal (batasan waktu) untuk menelusuri
sejarah perkembangan yang ada hingga saat ini, dan ruang lingkup keilmuan yang
dipakai adalah ilmu sejarah terbangunnya pabrik gula.
1.4.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan
penulis meliputi :
a. Wawancara dengan narasumber;
Dilakukan wawancara dengan narasumber baik sejarawan maupun
masyarakat sekitar lokasi pabrik guna mendapatkan data lapangan.
b. Pengolahan dan analisis data dari bukti
data otentik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk selanjutnya diinterpretasikan
penulis;
c. Data perpustakaan guna memperoleh teori
dan pendapat para ahli sejarah.
1.5.
Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam membuat makalah ini adalah
metode perbandingan untuk mencari keakurasian data dengan membandingkan antara
data wawancara, data dari bukti otentik dan data perpustakaan sehingga
diperoleh
BAB II
HASIL
PENELULUSURAN
2.1. Sejarah Pabrik Gula di Indonesia
Dari berbagai literatur
dapat diketahui, bahwa Indonesia dahulu kala (masih bernama Hindia Belanda)
pernah menjadi negara eksportir gula terbesar di dunia selain Kuba. Negeri ini
pernah punya ratusan pabrik gula yang tersebar di pulau Jawa dan Sumatera. Dan
terbilang ribuan “pabrik” manakala dimaknai sebagai mesin pengepres tebu yang
mobile dan dioperasikan langsung di kebun-kebun tebu untuk menghasilkan gula
merah. Diceritakan bahwa penyebaran tebu gula dimulai oleh para pedagang
Tionghoa dan Arab yang berlayar hingga ke Jawa sekitar abad ke-8. Kala itu, air
tebu merupakan barang mewah, yang konsumennya hanyalah segelintir elite yang
memiliki privilege saja.
Pada abad ke-8 ketika air tebu masih dianggap barang
mewah, lantaran bahan pemanis masih menggunakan madu dan umbi-umbian, sampai
dengan ditemukannya alat pengepres tebu oleh orang Tionghoa abad ke-15. Maka
dua abad kemudian pengepresan tebu berjalan profesional di Batavia yang
dikelola orang-orang Tionghoa pula, sampai kemudian beralih ke tangan VOC.
Sejak itu berlangsunglah pasang surut produksi gula lantaran persaingan global
dan sebab-sebab internal, yang kemudian beralih pada produksi arak oleh
pedagang besar Inggris.
Perkembangan penggilingan atau
pengepresan tebu di Jawa, secara besar
di mulai pertama kali pada pertengahan abad 17 di dataran rendah Batavia, di kelola
oleh orang-orang Cina. Kemudian di awal abad 19 muncul
industri gula modern di Pamanukan, Ciasem, Jawa Barat,
yang dikelola oleh para pedagang besar dari Inggris. Yang karena kesalahan
lokasi hanya bertahan satu dasawarsa (kekurangan tenaga kerja). Kehancuran
industri gula Inggris (Pamanukan-Ciasem) digantikan industri Belanda dalam
kurun culturstelsel. VOC mulai melakukan pengiriman gula Batavia sejak 1673 ke
Eropa, dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari 10.000 pikul. 130 buah
penggilingan pada tahun 1710, dengan produksi rata-rata setiap penggilingan
sekitar 300 pikul. Tahun 1749 terdapat 65 penggilingan, sedang pada 1750 naik
menjadi 80, dan akhir abad ke-18 merosot tinggal 55 penggilingan yang memasok
sekitar 100.000 pikul gula.
Pabrik gula merupakan salah satu peninggalan
masa kolonial yang mempunyai pengaruh
cukup besar di
Indonesia. Pabrik gula adalah tempat untuk memproduksi gula dalam jumlah
besar, dengan bahan baku utama yaitu tebu. Dahulu, sebelum adanya pabrik gula,
manusia sudah mengenal gula dari madu lebah, serta dari tumbuh-tumbuhan seperti
tebu, bit, kelapa, dan enau (aren). Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik di
daerah beriklim tropis dan sub tropis sepeti Kuba, India, Filipina, dan
Indonesia yang beriklim tropis sehingga perusahaan-perusahaan gula di Indonesia
menggunakan tebu sebagai bahan bakunya ( PTKPN XV-XVI, 1988:1).
Tempat asal tanaman tebu (Saccharum
offinarium) belum diketahui secara pasti. Ada dua pendapat mengenai tempat
asal tanaman tebu yaitu India Timur
(daerah-daerah di sekitar Sungai Gangga) dan Indonesia (Irian). Sejarah
penyebaran tebu yang berasal dari India Timur diperkirakan dimulai oleh
orang-orang Cina dan Arab sekitar abad VIII. Sebagai pedagang, mereka
menyebarkan tebu yang dibawa dari daerah-daerah di sekitar Sungai Gangga ke
wilayah selatan Samudra Hindia. Dalam perjalanan perdagangan tersebut, kemudian
mereka menyebarkannya ke Pulau Jawa (Cahyono, 2005). Pendapat lain tentang asal
tanaman tebu menyatakan bahwa tebu adalah tanaman asli Indonesia. Di Irian
tanaman tebu sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Sampai sekarang masih
terdapat tanaman tebu jenis liar di hutan-hutan Irian, Maluku, Sulawesi, dan
Kalimantan. Selain itu, bukti-bukti arkeologis Indonesia
sebagai tempat asal tanaman tebu juga ada
seperti yang terdapat pada relief Candi Borobudur yang menggambarkan tanaman
tebu. Data tentang tanaman tebu juga ditemukan pada sumber-sumber tertulis
seperti prasasti, kitab-kitab kesusastraan, dan berita Cina (Eriawati,
1989:178).
Tanaman tebu pada dasarnya dibudidayakan
untuk kepentingan perusahaan-perkebunan. Pada masa kolonial di Indonesia,
pembukaan lahan sebagai media perkebunan tebu dan industri gula lebih banyak
terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini dikarenakan kondisi tanah Jawa
yang subur sehingga cocok untuk tanaman tebu. Selain itu, di Jawa juga tersedia
tenaga kerja yang cukup untuk diperkerjakan di perkebunan tebu atau pun di
dalam pabrik. Keunggulan Jawa sebagai daerah penghasil tanaman tebu dan
produksi gula telah diakui oleh dunia internasional, terbukti dengan dikenalnya
Jawa sebagai peringkat kedua terbesar setelah Kuba dalam hal penghasil gula selama
periode pertengahan abad 19 sampai dengan Perang Dunia II (Murbyanto, 1986:15).
Pada masa pemerintahan kolonial terdapat tiga fase sejarah perkembangan
industri gula di Jawa.
Fase pertama, yaitu industri gula yang
didirikan pada abad ke 17-18. Pada fase ini gula belum dianggap sebagai barang
dagangan yang menguntungkan akibat tipisnya kesempatan untuk mendominasi pasar
internasional. Selain itu adanya keengganan atau ketidakmampuan dari organisasi
perdagangan VOC untuk berkompentensi di pasaran Eropa sehingga gula hanya diproduksi
dalam batas-batas permintaan tertentu saja. Mundurnya VOC dari perdagangan gula
ke Eropa tidak menurunkan semangat orang-orang Cina dalam pengusahaan dan
penggilingan gula di Jawa. Pada masa itu usaha penanaman dan penggilingan tebu
banyak dijumpai di desa persewaan, misalnya di daerah Jepara, Juana, Cirebon,
dan sekitar Batavia (Kartodirjo, 1994:38)
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, pencetus Cultuur Stelsel (Tanam Paksa pada 1830, dia juga pendiri Koninklijk Nederland Indisch Leger (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda, Sumber: Wikipedia)
Fase kedua, industri gula di Jawa terjadi
antara tahun 1830-1870. Fase ini dikenal dengan kurun Cultuur Stelsel (Tanam Paksa). Sistem ini dicetuskan oleh
Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch pada tahun 1830. Sistem
ini dilakukan pada dasarnya untuk memenuhi kas negeri Belanda yang keadaan
keuangannya sangat parah. Negeri Belanda pada waktu itu memiliki beban hutang
yang besar dan tidak dapat ditanggulangi sendiri, sehingga mereka mencari
solusinya di daerah jajahan yaitu Indonesia (Kartodirjo dan Suryo,
1994:14). Pada masa tanam paksa, tebu
menjadi salah satu jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanam rakyat
selain kopi, indigo, tembakau, lada, teh, dan kayu manis. Tebu ditanam pada 1/5
bagian milik tanah penduduk yang diminta secara paksa. Penduduk selain dipaksa
untuk menanam tanaman wajib juga dikenakan kerja paksa seperti untuk pemotongan
dan pengangkutan tebu, memasok kayu bakar untuk penggilingan tebu, menyediakan
ternak untuk membajak lahan, serta mengangkut gula dari pengilingan ke gudang
dan dari gudang ke pelabuhan (Mubyarto, 1993:78).
Fase ketiga, industri gula yang
berkembang pada pasca tahun 1870. Dalam sejarah Indonesia, tahun 1870
ditetapkan sebagai tonggak sejarah yang menandai permulaan zaman baru bercorak
ekonomi liberal. Pada prinsipnya ekonomi liberal lebih memberi kebebasan pada
para petani untuk menyewakan tanahnya dan menyediakan tenaganya untuk
perusahaan perkebunan. Dampak dari ekonomi liberal tersebut melahirkan
perusahaan-perusahaan perkebunan baru yang dikelola oleh investor swasta yang
memiliki modal besar (Kartodirjo dan Suryo, 1994:79-80). Pada fase ini
intervensi pemerintah terhadap industri perkebunan berkurang. Para pengusaha
perkebunan swasta mulai meninggalkan ciri-ciri lama yang dilakukan pemerintah
dalam sistem produksinya, yaitu sistem tanam dan kerja paksa. Mereka
menggantikannya dengan sistem produksi berdasarkan tenaga kerja kontrak yang
diupah. Gula pada fase ini masih menjadi
komoditas perdagangan yang penting selain kopi. Hal ini terlihat pada besarnya
perhatian investor swasta, terutama beberapa bank Belanda yang banyak menanam
modal dalam usaha perkebunan tebu. Fase ini memiliki banyak keuntungan yang
dapat diperoleh dan industri gula mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan
tersebut diiringi oleh penggunaan infrastuktur yang memadai misalnya jaringan
transportasi kereta api.
2.1.1. Teknologi Pengepresan Tebu Secara Tradisional
Bentuk dan tekhnologi pengepres tebu ini, hanya
terdiri dari dua buah silinder batu atau kayu yang diletakkan berhimpitan,
dengan salah satu silinder diberi tonggak sedang pada ujung tonggak diikatkan
ternak, atau digunakan tenaga manusia (digerakkan secara manual) untuk memutar
silinder. sementara itu pada salah satu sisi pengepres biasanya satu orang atau
lebih memasukkan tebu, kemudian hasil pengepresan dialirkan ke kuali besar yang
terletak tepat di bawah silinder. Mudah pengoperasiannya dan dapat dipindah-pindahkan
menurut kebutuhan. Di masa panen tebu, penggilingan-penggilingan ini akan
dibawa menghampiri kebun yang sedang panen.
Perkembangan pengepresan tebu di Jawa, secara
profesional dimulai di Batavia, pada awal abad ke-17 dengan pengelola warga Tionghoa.
Sebuah buku yang secara sekilas mengupas kisah keberhasilan dagang kaum bermata
bermata sipit ini adalah “Ni Hoe Kong Kapitein Tionghoa di Betawie dalem
tahon 1740,” yang ditulis Hoetnik tahun 1923. Para
konglomerat Tionghoa itu tidak lupa menggandeng para pejabat VOC yang juga
pedagang besar. Mereka terlibat dalam membiayai penggilingan-penggilingan tebu
ini. Bahkan, VOC mulai melakukan pengiriman gula Batavia sejak 1637 ke Eropa,
dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari 10.000 pikul. VOC biasanya membeli
dari para Tionghoa, dengan harga setiap pikul antara empat hingga enam
rijksdaalder tergantung kualitasnya.
The World’s Cane Sugar Industry Past & Present karya Geerligs, menjelaskan, bahwa sayangnya awal yang begitu baik ini tidak didukung kemampuan dalam melakukan kompetisi pasar. Ketika India, koloni Inggris, juga memasok gula ke Eropa, VOC surut dari percaturan perdagangan gula. Penggilingan yang aktif merosot menjadi hanya tinggal sepuluh buah pada tahun 1660.
The World’s Cane Sugar Industry Past & Present karya Geerligs, menjelaskan, bahwa sayangnya awal yang begitu baik ini tidak didukung kemampuan dalam melakukan kompetisi pasar. Ketika India, koloni Inggris, juga memasok gula ke Eropa, VOC surut dari percaturan perdagangan gula. Penggilingan yang aktif merosot menjadi hanya tinggal sepuluh buah pada tahun 1660.
|
Mundurnya VOC dari perdagangan gula ke Eropa,
tidak serta merta mengendurkan semangat warga etnis Tionghoa. Mereka tetap
gigih mengusahakan pengepresan gula, hingga tercatat pada tahun 1710 tercapai
jumlah sekitar 130 buah penggilingan, dengan produksi rata-rata setiap penggilingan
kurang lebih 300 pikul.
Meskipun demikian pada masa-masa selanjutnya terjadi pasang surut pada jumlah penggilingan maupun produksinya. Seperti dalam tahun 1745, terdapat 65 penggilingan sedang pada 1750 naik menjadi 80, dan di akhir abad ke-18 merosot tinggal 55 penggilingan yang memasok sekitar 100.000 pikul gula.
Wajar jika pertanyaan muncul, apa yang
menyebabkan jumlah penggilingan di atas mengalami pasang-surut sangat drastis?
Ada kemungkinan karena sederhananya penggilingan atau pengepres gula tersebut
sehingga dapat dipindah-pindahkan. Elson,
dalam The Impact of Governement Sugar Cultivation in the Pasuruan Area, East
Java, During the Cultivation System Period mengungkapkan, bentuk dan
teknologi pengepres tebu ini, hanya terdiri dari dua buah silinder batu atau
kayu yang diletakkan berhimpitan, dengan salah satu selinder diberi tonggak
sedang pada ujung tonggak diikatkan ternak, atau digunakan tenaga manusia untuk
memutar silinder. Sementara itu pada salah satu sisi pengepres biasanya satu
orang atau lebih memasukkan tebu. Kemudian hasil pengepresan dialirkan ke kuali
besar yang terletak tepat di bawah silinder. Mudah pengoperasiannya dan dapat
dipindah-pindahkan menurut kebutuhan. Di masa panen tebu,
penggilingan-penggilingan ini akan dibawa menghampiri kebun yang sedang panen. Sedang
tenaga kerja yang digunakan penggilingan penggilingan Tionghoa ini, dikerahkan
buruh-buruh etnis Tionghoa yang sangat banyak, dan buruh-buruh Jawa yang
didatangkan dari karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah, terutama
dari Cirebon, Tegal dan Pekalongan.
Hoetink memperkirakan, dari segi politis, berlimpahnya populasi komunitas Tionghoa di sekitar Batavia ini belakangan membuat komunitas Eropa ketakutan. Sehingga di tahun 1740, terjadi ‘pembasmian’ orang-orang Tionghoa (Dalam bahasa Belanda disebut De Chinezenmoord).
Pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC pada 1740, dikenal sebagai De Chinezenmoord, Terlihat rumah rumah penduduk Tionghoa yang dibakar oleh Belanda
Sebagaimana diketahui, dalam proses pemasakan gula sangat banyak diperlukan kayu bakar. Rupa-rupanya orang-orang Tionghoa, dalam periode hampir seabad, telah dengan sangat intensif, menggunduli pohon-pohon dan fertilitas dataran rendah Batavia. Sedang dugaan lain dapat diikuti dari Geschiedenis van de suiker op Java atau Sejarah Gula di Jawa, yang memberi sepenggal informasi yang menyatakan bahwa penggilingan ommelanden sangat tergantung pada modal yang disediakan oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie.
Kumpeni begitu orang Jawa mengatakan, setiap tahunnya menyediakan dana untuk uang panjar atau persekot sebesar 8.000 gulden. Dan bantuan keuangan ini terhenti dengan terjadinya peperangan di Eropa yang dikomando Napoleon Bonaparte dari Prancis. Kedua dugaan tersebut bisa jadi saling berkorelasi. Meskipun dugaan yang pertama akan sulit untuk dibuktikan, karena belum ada penelitian untuk mendukung pendapat tersebut. Sedang pendapat kedua mungkin lebih mendekati kebenaran. Sebab berhentinya penggilingan-penggilingan Tionghoa ini juga bersamaan waktunya ketika VOC bubar di akhir abad 17.
Namun demikian, bagaimanapun juga, gula atau sirup tetap menjadi barang-dagangan yang dikonsumsi oleh masyarakat Eropa yang bermukim sementara waktu di Jawa dan pesisir Asia Tenggara dan Timur.
Karena, selain gula dipergunakan sebagai pencampur minuman kopi, coklat dan teh, tetes atau gula kental pun dapat diolah melalui fermentasi tertentu, diubah menjadi arak atau rum. Sehingga, meskipun industri ommelanden runtuh di akhir abad 18, tidak mematikan bisnis penggilingan gula yang mulai muncul di tempat-tempat lain. Arak dan rum menjadi hampir separuh produksi ommelanden. Setelah industri gula Batavia ini runtuh, produksi arak dilanjutkan oleh para pedagang-besar Inggris pada perkebunan Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat.
Dalam tahun 1820-an, dua buah penggilingan milik Tionghoa yang berada di Karesidenan Pekalongan, yang memproduksi sekitar 1800 pikul gula setiap tahunnya, mengirimkan empat per lima produksi tetes-nya atau sekitar 1.440 pikul ke Batavia dan Semarang untuk disuling menjadi rum.
Penyulingan rum menyurut dengan runtuhnya industri gula yang dikelola para pedagang besar Inggris di akhir 1820-an. Raffles dalam The history of Java tahun 1817, bahkan pernah memuji arak buatan Jawa. Ia mensejajarkan arak Jawa dengan arak buatan Filipina. Disebutkannya, bahwa arak nomor satu produksi Jawa terkenal dengan julukan arak api.
Pada kurun cultuurstelsel, arak hanya diproduksi oleh beberapa pabrik, antara lain Wonopringo, Pekalongan. Menurut Geerligs, merosotnya produksi rum dan arak, karena dianggap telah tidak menguntungkan untuk dijual. Di Eropa produksi rum dan arak sangat melimpah, sehingga harganya merosot.
Gula masih tetap diproduksi oleh orang-orang Tionghoa di sepanjang karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur atau Oosthoek. Namun, kedudukan para pengolah gula terlalu lemah, sehingga pada saat terjadi meningkatnya per-mintaan gula, manufaktur-manufaktur yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa ini dirampas oleh orang-orang Eropa. Dan kemudian dikelola dengan cara sewa desa, yaitu desa-desa dilepaskan dari kekuasaan para bupatinya, antara 3 sampai 10 tahun. Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, menulis, ternyata ketika kurun pemerintahan Daendels, 1808-1811, sistem sewa desa ini pernah dicoba untuk dihapuskan. Tetapi penghapusan sewa desa ini pun dikenakan pada desa-desa yang memproduksi barang yang tidak menguntungkan gubernemen. Sedang desa-desa penghasil nila dan tebu gula yang menggunakan sistem sewa desa, masih tetap dipertahankan.
2.1.2. Teknologi Pengolahan Tebu Secara Modern
Dalam tahun 1820-an, mulai bermunculan pabrik-pabrik yang dikelola
langsung oleh orang-orang Eropa. Seperti pabrik-pabrik gula yang didirikan di
Bekasi, Jawa Barat dan di Oosthoek, Jawa Timur. Dilengkapi dengan modal-modal
besar, didatangkanlah mesin-mesin impor yang sebelumnya tidak pernah digunakan
di Jawa. Era ini, oleh karenanya bisa disebut sebagai awal terjadinya
industrialisasi di Jawa Timur.
Salah satu surat Jessen Trail and Company yang ditujukan kepada NHM
(Nederlandsch Handeel Maaschapij) memperjelas kedatangan mesin-mesin impor
berkualitas tinggi itu. “Perusahaan-perusahaan sekarang ada di tangan kami,
agaknya masih menggunakan mesin kasar dan tidak sempurna lagi. Kami memutuskan
untuk mengimpor mesin dari Eropa sekaligus orang-orang trampil untuk
mengoperasionalkan perlengkapan baru tersebut. Sekarang, tahun 1826, kami mempunyai
tiga set mesin uap; satu penggilingan dari Eropa dengan kekuatan delapan tenaga
kuda, dengan tiga selinder. Dikerjakan oleh lembu dan tiga penggilingan putar
batu tambahan, juga ditarik oleh lembu, dengan enam perangkat lengkap pemasak
baja dan penjernih baja dan tembaga. Juga
ada tiga mesin penyuling yang terdiri dari enam penyuling tembaga Eropa, dan
satu pelengkap yang sesuai dari sistem fermentasi untuk menyuling gula kental
menjadi Arak dan Rum.”
Kaum pedagang besar Inggris yang telah terlibat pengoperasian pabrik-pabrik gula di India, beramai-ramai.. Sederet nama pedagang yang cukup penting, di antaranya William Taylor Money, Thomas MacQuoid, Peter Jessen dan John Palmer. Mereka membentuk lima buah firma, dua di antaranya yang terbesar-adalah Jessen Trail and Co. dan Palmer & Co. Demikian ditulis Knight dalam John Palmer and Plantation Development in Western Java during the Earlier Neneteenth Century ( 1980).
John Palmer adalah pedagang kain dan candu selama kurun pemerintahan Inggris yang singkat di Jawa. Dan di akhir pemerintahan Raffles, Palmer memulai usaha perkebunannya di wilayah Subang, Jawa Barat.
Para pedagang Inggris ini umumnya melakukan investasi dengan melakukan pembukaan tanah-tanah baru di Jawa. Hal ini dimungkinkan karena pasar di Eropa telah terbuka kembali setelah berakhirnya peperangan Napoleon. Yang berakhir dengan kekalahan Napoleon dalam pertempuran Waterloo, di Belgia, Juni 1815. Ia kemudian dibuang ke St. Helena.
Sayangnya, meskipun usaha keras untuk memvitalisasikan industri gula di Jawa itu bisa dikatakan telah maksimal, dengan target bisa menyamai produksi industri gula India, namun hingga 1826, ketika kurun pemerintahan Du Bus de Gisignies antara tahun 1826-1830, produksi hanya mencapai 19.795 pikul. Jumlah sebesar ini, masih jauh dibanding dengan produksi penggilingan yang dilakukan oleh orang Tionghoa selama abad ke-18.
Akar penyebabnya bisa ditelusur dari kesulitan mereka untuk mengatasi masalah yang muncul. Yaitu kelangkaan informasi geografis penanaman perkebunan tebu, maupun faktor kebiasaan masyarakat sekitar pabrik gula itu. Ini tentu berkait dengan salahnya pemilihan lokasi industri.
Contoh kasus, terjadi di daerah perkebunan tebu Pamanukan, Ciasem. Di kawasan seluas 213.000 hektar itu, populasi tahun 1819 berkisar 21 ribu orang. Terdapat beberapa tuan tanah, yang melalui para perantaranya, para mandor dan lurah, mengorganisir petani untuk memproduksi agrikultur padi. Para tuan tanah ini tentunya tidak ingin kehilangan pendapatan tanaman padi, meski mereka juga diminta untuk pengembangan industri gula. Dari sisi pengelola onderneming gula, ini tentu sangat tidak menguntungkan. Sebab mereka tidak bisa merekrut buruh dari wilayah tersebut.
Solusi yang akhirnya diambil adalah, industriawan gula mencoba untuk menyelesaikan masalah untuk mendapatkan buruh-buruhnya dengan cara mengirimkan agen-agen pencari tenaga kerja ke wilayah karesidenan-karesidenan yang dalam kurun itu memang telah padat penduduknya. Dengan menghubungi para lurah dalam karesidenan-karesidenan pesisir, maka industriawan gula berhasil mengumpulkan sekelompok bujang yang bersedia bekerja sebagai buruh upah di onderneming-onderneming gula tersebut.
Namun demikian, keadaan penyediaan tenaga kerja semakin memburuk.
Sehingga pada penutup tahun 1824, Gubernur Jenderal Van der Capellen,
menyetujui bahwa beban merekrut buruh dialihkan kepada pemerintah. Dengan
komandonya, Capellen memerintahkan residen-residen di pesisir Utara Jawa untuk
memberikan semua dukungan dan pertolongannya.
Keterlibatan gubernemen menyediakan tenaga kerja ini, tak pelak membuat kebutuhan minimal antara 150 hingga 200 orang buruh untuk setiap pabrik, teratasi. Meskipun demikian, masalah baru muncul berkait pemaksaan kehendak kepada para bumiputera ini.
Perkebunan dan Industri Gula di Jawa Timur (Sumber: Koninklijk Institut voor Taal, Land en Volkenkunde/kitlv.nl)
Tenaga kerja dari buruh
pribumi yang diikat dengan kontrak, Kontrak-kontrak gula gubernemen
tersebut mengikat petani untuk bekerja tanpa batas waktu yang tegas.
Sebagai contoh adalah kalimat :
“kontract iki bakal kanggo setaun, atawa saingga kongsi rolas taun,
apa kersane kandjeng gupernemen”.
Sedang kerja-kerja yang terkait dalam kontrak
tersebut dalam bahasa jawa diterangkan meliputi :
“Sakabehe
pegawejan ing dalem panggilingan sarta ing dalem kebon atawa nebang
tebu, amek kaju bakar, iku uwong-uwong amesthi anglakoni pegawejan iku”.
Masalah lain yang dihadapi industri gula adalah
lahan tebu. Kebun-kebun tebu yang dibuka tidak ditanam di sawah, tetapi
dilakukan pembukaan tanah yang sama sekali baru. Maka diperlukan ketekunan
tersendiri untuk mengubah tanah menjadi lahan produktif yang siap ditanam tebu.
Apalagi tebu adalah tanaman manja yang menuntut irigasi dan drainasi intensif. Akibatnya,
banyak para pengusaha atau fabriekant frustrasi, karena laba yang diharapkan
tidak kunjung tiba sementara industri telah menyedot cukup banyak uang, dan
mengakibatkan kebangkrutan. Fabriekant adalah istilah yang menunjuk pada orang
yang hanya mengusahakan penggilingan atau fabriek (pabrik).
Setelah 1850, istilah fabriekant diganti menjadi ondernemer dikarenakan
fabriekant telah lebih mendapat keleluasaan dari gubernemen, den lebih
dilibatkan dalam pengolahan kebun-kebun.
Tetapi, sebenarnya bila kita telisik lebih jauh, dari apa yang dilakukan oleh para pengusaha pabrik gula di Jawa ini lebih tepat disebut sebagai planter ketimbang fabriekant ataupun ondernemer. Sebab, tanah-tanah yang dikuasainya itu adalah hasil dari pembelian yang mereka lakukan selama kurun pemerintahan Raffles dan satu dekade sesudahnya.
Tetapi, sebenarnya bila kita telisik lebih jauh, dari apa yang dilakukan oleh para pengusaha pabrik gula di Jawa ini lebih tepat disebut sebagai planter ketimbang fabriekant ataupun ondernemer. Sebab, tanah-tanah yang dikuasainya itu adalah hasil dari pembelian yang mereka lakukan selama kurun pemerintahan Raffles dan satu dekade sesudahnya.
Pabrik Gula Jatiroto di Lumajang, Jawa Timur pada masa kolonial (Sumber: Troepen Museum)
Meskipun demikian, makna planter kurun pasca 1870 berbeda dengan planter kurun 1820-an, terutama antara bentuk persewaan jangka panjang. Setelah 1870, bentuk pemilikkan tanah (grondbezit) sementara dalam kurun cultuurstelsel, sebutan planter mengacu kepada buruh-buruh bumiputra yang bekerja dalam onderneming.
Nah, akibat dari kegagalan yang diderita secara bertubi-tubi inilah, para fabriekant itu akhirnya menyerah. William T. Money, seorang fabriekant mengatakan “Dana-dana saya di Bombay, tertelan oleh perkebunan di Jawa.”
Atau, firma yang dikelola oleh Thomas MacQuoid, MacQuoid Davidson and Co, terpaksa gulung tikar pada 1826. Di akhir 1820-an, tercatat industri gula di Jawa, hancur sama sekali, dan ditinggalkan para pengelolanya. Maka, apa yang dikatakan Bill Guerin, di awal tulisan ini, sungguh tepat. Industri gula bak puing-puing mengenaskan, digerus tantangan pasar global.
Varietas tebu yang ditanam
merupakan jenis terbaik, dengan kadar rendemen (kadar gula dalam tebu) tinggi
yang hanya dihasilkan oleh tebu yang dikenal dengan sebutan zwarte Cheribonriet
(Tebu Hitam dari Cirebon), mulai digunakan sistem Reynoso tahun 1863, para
buruh tebang (rappoe) bisa menghasilkan antara 30 hingga 50 ikat / kolong tebu
(atau antara 750 hingga 1.250 batang tebu). Panen setiap tahun, untuk setiap
bau tidak mencapai 25 pikul. Jumlah yang sering didapat dalam setiap panennya
antara 17 hingga 22 pikul.
2.1.3. Politik Ekonomi Culture Stelsel
Hancurnya industri gula ini, sedikit banyak terkait dengan keadaan
ekonomi negeri Belanda yang morat marit. Sehingga di masa pemerintahan Van den
Bosch, diterapkanlah kebijakan cultuurstelsel di seluruh pulau Jawa. Ada
beberapa alasan pemberlakuan kebijakan tersebut. Pertama, keadaan di negeri
Belanda sangat buruk setelah berakhirnya peperangan Napoleon.
Gubernur Jenderal G.A.G.P.b van der Capellen
Apalagi saat itu, keuangan pemerintah juga
banyak terkuras karena membiayai perang Diponegoro di Jawa yang berlangsung
lama, antara 1825-1830. Menyusul kemudian perang melawan Belgia di awal tahun
1830. Bahkan, dalam kurun pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen, pemerintah Hindia Belanda berhutang pada firma Palmer and Co. sebesar 20 juta gulden. Maka, pemberlakuan cultuurstelsel oleh Bosch adalah upaya menutup defisit kronis perekonomiannya.
Istilah stelsel sebetulnya mengacu pada situasi yang khas dengan dipergunakannya sistem politik ekonomi khusus. Pemberlakuan sistem ini, disebabkan oleh kondisi kelas burjuasi yang notabene adalah kaum terpelajar dan pengkhotbah etika dalam dunia politik di negeri Belanda yang terlalu lemah. Rancangan untuk membuka Jawa atas dasar keterlibatan aktif investor swasta, dapat digagalkan oleh arus konservatif di tubuh pemerintah, yang dalam kurun tersebut mendominasi politik di Belanda.
Du Bus de Gisignies, salah satu pendukung sistem eksploitasi swasta, pernah mengajukan rancangan pengelolaan Jawa secara liberal. Yaitu dengan mengambil tanah hutan dan tanah di sekeliling desa menjadi milik kaum pengusaha onderneming swasta, dan untuk menciptakan buruh-buruhnya, rakyat bumiputra dicabut hak-hak tradisionalnya dalam pembukaan hutan-hutan.
Dengan cara ini, akan tercipta lapisan sosial yang disebut proletar. Juga, seperti dikatakan Polak dalam “Tentang Cultuurstelsel dan penggantinja” tahun 1961, dilakukan individualisasi tanah untuk mempercepat terciptanya klas buruh di Jawa, namun rancangan ini akhirnya ditolak Raja Willem I. Dengan kata lain, Jawa belum memungkinkan dikelola secara liberal. Dalam kurun ini, pemerintah telah memiliki dua lembaga yang diharapkan menjadi tulang punggung sistem cultuurstelsel. Pertama adalah Nederlandsh Handeel Maschapij (NHM), yang didirikan tahun 1824. Lembaga perdagangan monopoli ini dibentuk atas inisiatif raja Willem I, dalam rangka menghancurkan hegemoni komersial Inggris di Jawa. Pada kurun tersebut, Inggris dengan ‘perdagangan bebas’nya, memiliki armada kapal lebih dari 100, dari 171 kapal yang berlabuh di Batavia. Sementara kapal Belanda hanya 43 buah.
Berangkat dari sini, upaya memajukan perdagangan Belanda didorong untuk diwujudkan dalam bentuk satu maskapai besar. Modal pertama untuk NHM sebesar satu juta gulden, sedang langkah pertama keterlibatannya dalam perdagangan adalah dengan memberikan hak penjualan kopi Priangan selama duabelas tahun.
Pemberian prioritas dan keistimewaan dalam menjual hasil-hasil Jawa di Eropa ini, implisit berarti penanaman gubernemen harus diperluas.
Nederlandsche Handel Maatschaapij (Netherlands Trade Society/Maskapai Dagang Belanda) didirikan tahun 1824 awalnya dijadikan tulang punggung monopoli pemerintah kolonial Hindia Belanda
Pada 13 Agustus 1830, Bosch setuju untuk menanam tebu gula di
karesidenan-karesidenan Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang dianggap situasinya
menguntungkan. Inilah isyarat, pembukaan industri gula yang berbentuk
perusahaan negara (staatbedrijf).
Sebetulnya, bentuk perusahaan ini tidak dapat dikatakan seratus persen sebagai perusahaan negara. Sebab, gubernemen hanya bertanggung jawab terhadap penyediaan tebu, sedang pabriknya sendiri dibangun secara patungan antara gubernemen dengan para kontraktor atau fabriekant.
Sebetulnya, bentuk perusahaan ini tidak dapat dikatakan seratus persen sebagai perusahaan negara. Sebab, gubernemen hanya bertanggung jawab terhadap penyediaan tebu, sedang pabriknya sendiri dibangun secara patungan antara gubernemen dengan para kontraktor atau fabriekant.
Pemilihan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini, ditekankan untuk menghindari nasib tragis seperti yang menimpa industri Pamanukan-Ciasem. Dan memang, Jawa Barat menjadi terhindar sebagai onderneming gula. Knight menjelaskan hal ini, “Ciri-ciri krusialnya adalah perpindahan industri dari basis perkebunan di Jawa Barat dan menuju koloni di karesidenan-karesidenan pantai utara. Di mana relatif telah tersedia populasi petani binatang dan mesin tradisional. Warga Belanda baru mendatangkan mesin-mesin dalam tahun 1935.
Berlangsungnya rasisme tidak bisa dihindari. Pihak manajemen dimasuki orang-orang Eropa, sementara tenaga kasar diperoleh dari penguasa bumiputera dengan perintah tangan besinya. Buruh banyak yang tidak memperoleh upah, atau gratisan. Adapula yang memperoleh upah, namun jumlahnya sangat minim. Nah, dalam Bahasa Belanda, kerja paksa ini disebut heerendienst dan culturdienst.
Heerendienst untuk kerja rodi pembuatan infrastruktur industri seperti pembangunan jembatan, bendungan air atau dam, pembuatan jalan sekitar pabrik dan sebagainya; sedang cultuurdienst untuk kerja menanam jenis tanaman (plantege)yang di panen.
Pada bagian lain pemerintah Belanda melakukan upaya-upaya untuk menembus pasar Eropa, seperti membuat per-aturan perdagangan khusus dalam bentuk kelonggaran-kelonggaran cukai impor. Yaitu untuk setiap cukai sebesar 100 gulden, diberi potongan 15 gulden. Regulasi ini hanya berlaku bagi perdagangan gula saja.
Fondasi industri perkebunan ini ternyata berhasil baik, gula dari Jawa mampu mendominasi pasaran dunia. Produksi berkembang sangat cepat, dari 752.657 pikul (tahun 1840) hingga mencapai 1.764.505 pikul (di tahun1860), dengan fluktuasi laba antara 280.780 sampai 453.656 gulden per tahunnya.
Rel kereta api/lori digunakan untuk mengangkut tebu, di Pabrik Gula Djatie, Ngandjoek (Sumber: Troepen Museum)
Walaupun secara resmi negara melepas para kontraktor gula pada 1879 (Suiker Wet), tetapi akibat tekanan-tekanan keras dari kaum Liberal ini, maka sejak 1850 gubernemen memberi kelonggaran-kelonggaran pada para pengelola industri gula untuk membuka interaksi langsung antara pabrik dengan petani, seperti dalam melakukan perjanjian penanaman dan merekrut tenaga kerja.
Waktu memang tak bisa dihentikan. Terus berjalan, meski tanpa kehendak manusia. Hingga tidak terasa, dari tahun ke tahun penguasaan gula semakin meluas di seantero Jawa. Tercatat, di tahun 1935, pabrik-pabrik gula berdiri di sekitar Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo dan Malang. Untuk Keperluan tersebut dianggap perlu adanya Balai penelitian Gula atau Proofstation Van Ooc Java di Pasuruan, yang merupakan salah satu balai penelitian di antara bagai penelitian yang tersebar di belahan bumi bagian selatan. Hingga kini, balai tersebut masih berfungsi dan diberi nama BP3G atau Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula.
Untuk keperluan perbaikan-perbaikan pabrik, khususnya penyediaan suku cadang dan tempat perbengkelan mesin-mesin beratnya, didirikan pula bengkel besar dengan nama De Bromo. Bromo ini mempunyai tiga unit antara lain; unit Bhinneka, Turangga dan Wahana. Masing - masing berfungsi sebagai unit aneka ragam pekerjaan, unit yang membuat mesin dan ada unit yang membuat gerbong kereta api.
2.1. Pabrik Gula di Kabupaten Nganjuk
Perkembangan pabrik gula di Kabupaten Nganjuk
tentunya hampir sama dengan pabrik gula lain yang ada di Jawa Timur atau
wilayah lain di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera. Pemerintah Kolonial Belanda
membangun sekitar 5 (lima) pabrik gula untuk menambah suplai gula di Indonesia
bahkan dunia. Berikut akan diuraikan sejarah pabrik gula yang ada di Kabupaten
Nganjuk yaitu : PG Jati Loceret, PG Lestari Patianrowo, PG Yuwono, PG Kujon
Manis dan PG Baron.
2.1.1.
Pabrik Gula Jati Loceret (Suiker Fabriek Djati)
Pabrik Gula Djati (Suiker Fabriek Djati) didirikan sekitar 5 km di
selatan Nganjuk pada tahun 1898. Salah satu direktur dari pabrik gula ini yaitu
GWS Hasselt yang berasal dari Belanda. Pabrik ini
didirikan bertujuan untuk menambah hasil kapita Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
di daerah jajahannya, salah satunya di daerah Nganjuk tepatnya di
Djati,Loceret. Keberadaan PG Djati atas prakarsa dari Karesidenan Kediri pada
tahun 1898. Kemudian untuk kepemilikan saham yang ada, beberapa dimiliki oleh
orang-orang Belanda yang kaya.
Pabrik Gula (Suiker Fabriek) Djati pada masa kolonial Belanda (Sumber: Koninklijke Institut voor Taal, Land, en Volkenkunde/kitlv.nl)
Kemudian mengenai uji kualitas hasil
produksi, pabrik tersebut belum mampu bekerja dengan mandiri. Pabrik tersebut
masih bekerja sama dengan pabrik gula Pasuruan yang memiliki laboratorium
tentang kualitas gula. Selain itu tentang penelitian dan pengawasan tanaman
atau benih tebu juga masih bekerjasama dengan pabrik gula Pasuruan. Kerjasama
ini menghasilkan produksi pabrik gula Djati setiap tahun meningkat.
Karyawan dan Staf Pabrik Gula Djatie Ngandjoek (Sumber: Koninklijk Institut voor Taal, Land, en Volkenkunde/kitlv.nl)
Perkembangan selanjutnya, PG Djati
membuat program tentang perbaikan irigasi,pemupukan,penelitian tanah, dan uji
coba penelitian benih tebu pada tahun 1899. Selain itu,tahap selanjutnya pihak
pabrik melalui salah satu sekretarisnya yang bernama Van Guethem
melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah setempat untuk melakukan program
sewa tanah antara perusahaan dengan masyarakat. Berikut beberapa desa yang
dimanfaatkan sebagai pusat persewaan tanah untuk menanam tebu antara lain:
1. Desa Jarakan
2. Desa Sendang Bumen
3. Desa Wates
4. Desa Pace Wetan
5. Desa Pace Kulon
6. Desa Sukorejo
Sisa cerobong asap PG Djatie
Dengan bertambahnya kerjasama sewa tanah penanaman tebu maka hasil penggilingan semakin meningkat. Pencatatan administrasi tersebut dilakukan oleh salah satu pegawai Belanda yang bernama Acques Broese. Beliau lahir di Haarlem, Belanda pada 1 November 1876 dan meninggal pada Mei 1911. Diketahui bahwa pabrik ini telah memasarkan gulanya hingga ke luar kota. Sekarang yang tersisa dari pabrik ini adalah cerobong asap yang terletak di tengah lahan pertanian,sebuah gudang dan bekas kantor operasional dari pabrik gula tersebut. (Sumber: Suiker Fabriek (Pabrik Gula) di Nganjuk Pada Masa Kolonial Belanda,Risqi Indah Kusbana,2015)
2.1.2. Pabrik Gula Lestari Patianrowo (Suiker
Fabriek Lestari)
Pabrik Gula Lestari didirikan oleh perusahaan Belanda bernama Nameless
pada tahun 1884. Perusahaan ini membuka usaha yang bertujuan untuk
mengembangkan industri gula dan
membuka lapangan pekerjaan baru. Di sisi lain, tentu perusahaan industri gula yang didirikan di Hindia Belanda harus berdasar aturan Dewan manajemen dan Dewan Pengawas Kolonial.
membuka lapangan pekerjaan baru. Di sisi lain, tentu perusahaan industri gula yang didirikan di Hindia Belanda harus berdasar aturan Dewan manajemen dan Dewan Pengawas Kolonial.
Pabrik Gula Lestari pada masa kolonial (Sumber: Troepen Museum)
1) Leonard Herman Thomas bianchi
Pegawai yang bertanggung jawab untuk spoorwagen atau kereta untuk
pengangkutan tebu maupun hasil produksi
2) L.C Vonck
Pegawai yang memimpin bid.administrasi perusahaan pabrik gula
Lestari pada tahun 1938
3) Arie van Lakerveld dan Henriette Adolphinestrat
Pabrik Gula Lestari Sekarang
Semakin bertambah tahun pabrik ini
semakin pesat hasil produksinya dan setelah Perang Dunia II dan Agresi Militer
Belanda di Indonesia usai, pada tahun 1950-1957 terjadi penyitaan dan
pengambilalihan aset swasta asing yang terjadi di Indonesia, akibatnya pabrik
ini juga diambil oleh pemerintah Indonesia. Hingga saat ini hanya pabrik gula
Lestari yang masih beroperasi di Kabupaten Nganjuk, tepatnya di desa
Patianrowo.
(Sumber: Suiker Fabriek (Pabrik
Gula) di Nganjuk Pada Masa Kolonial Belanda,Risqi Indah Kusbana,2015)
2.1.3.
Pabrik Gula Juwono (Suiker Fabriek Djoewono)
Pabrik Gula Juwono terletak di Desa
Juwono, Kertosono, Nganjuk. Menurut bukti sejarah, pabrik ini didirikan oleh
perusahaan Cina dan didirikan tahun 1889. Namun, menurut saksi hidup yang saya
temui bernama Mbah Wadi, 89 tahun yang merupakan penduduk asli
desa sekitar dan mertuanya dulu merupakan karyawan di pabrik tersebut
menceritakan, bahwa pabrik ini benar dimiliki oleh seorang Cina bernama Han
Toe Wi atau Tiek Wi, pemilik pabrik tersebut membeli
tanah sekitar tahun 1912 lalu mulai membangun, pada 1914 sudah mulai produksi
gula dan pada 1929 sudah dinyatakan bangkrut.
Mbah Wadi juga menceritakan bahwa si
pemilik juga memiliki cabang di daerah Sumobito, Kudus, Mojoagung,dan
Warujayeng. Menurut cerita beliau tanah tempat pabrik ini dibeli dari seorang
peranakan Belanda bernama Tn. Aratun. namun, menurut dokumen asli
dari Belanda menyebutkan bahwa pabrik ini sudah berdiri pada tahun 1889 dan
dimiliki oleh Vereeninging Liem Swie Gee Tjin Thjik Kong See
adalah salah satu direktur PG Juwono yang berasal dari Cina.
Berdasarkan sumber sejarah yang ada,
dapat diketahui bahwa PG Juwono mengekspor gula sekitar 500 ton per
bulan.Keadaan genting yang terjadi tahun 1919 dimana produksi semakin menurun
ditambah lagi dengan desas-desus bahwa pabrik gula Baron,Kujonmanis dan Juwono
bangkrut sekitar tahun 1920.
Pada perkembangan selanjutnya,seperti
halnya pabrik gula yang lain, pabrik ini juga bekerjasama dengan pabrik gula
Pasuruan pada tahun 1935. Kerjasama tersebut meliputi penelitian tanah, unsur
tanah maupun cuaca dan benih tebu. Saat ini pabrik gula ini sudah tidak
beroperasi lagi,bangunan yang tersisa hanyalah pintu gerbang masuk, cerobong
asap tempat pembakaran pabrik dimana kondisi cerobong tersebut sudah agak retak
dan beberapa bagian tembok,dan lapangan sepakbola yang dulunya merupakan tempat
pengumpulan tebu,sedangkan bangunan lain saat ini sudah menjadi pemukiman
penduduk. (Sumber: Suiker Fabriek (Pabrik Gula) di Nganjuk Pada Masa
Kolonial Belanda, Risqi Indah Kusbana,2015 dan Wawancara secara Langsung dengan
Mbah Wadi, warga desa Juwono - Kertosono)
2.1.4.
Pabrik Gula Baron (Suiker Fabriek Baron)
Pabrik Gula Baron terletak di Desa
Baron,Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Daerah ini masih masuk
Karesidenan Kediri,ditinjau dari sejarahnya pabrik ini didirikan oleh
pemerintah kolonial pada tahun 1890. Pada tahun 1900, pasaran gula Eropa
mengalami lonjakan permintaan yang tinggi. Hal tersebut mengakibatkan pabrik
gula Baron harus meningkatkan hasil produksinya. Meskipun hal tersebut terlalu
dipaksakan karena melebihi kapasitas normal sehingga mengakibatkan banyak alat
produksi yang rusak. Dalam kurun waktu 2 tahun produksi pabrik gula Baron bisa
mengejar target yang ditentukan Pemerintah Kolonial.
Di sisi lain, untuk mengejar target
tersebut diperlukan lahan yang luas pula, sedangkan pada saat itu areal lahan
penanaman sangat sempit. Berdasar masalah tersebut pemerintah Kolonial
mengambil tindakanuntuk sewa tanah pada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pabrik gula Baron pada tahun 1908.
Tahun 1910 PG Baron bekerjasama dengan
pabrik gula Pasuruan dalam hal penelitian. Pada Desember 1928 Direktur pabrik
gula Baron mendata hasil penelitiannya dengan membandingkan dari tahun 1927 dan
1928. April 1929 PG Baron memperluas sewa lahan masyarakat. Pada 1931 PG Baron
menanam seluas 687 hektar tebu.
Kondisi PG ini sekarang menjadi aset
Pemerintah Kabupaten Nganjuk dengan kondisi bangunan sudah tidak terawat dan
pabrik gula ini sudah tidak beroperasi lagi. (Sumber: Suiker Fabriek (Pabrik
Gula) di Nganjuk Pada Masa Kolonial Belanda, Risqi Indah Kusbana,2015)
2.1.5. Pabrik Gula Kujon-manis (Suiker Fabriek
Koedjonmanis)
Pabrik Gula (PG) Kujonmanis didirikan pada tahun 1895 di desa Kujon
Manis, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Pabrik ini didirikan dengan tujuan
untuk membantu produksi gula yang ada di wilayah Karesidenan Kediri pada masa
itu. Berdasar hal tersebut, maka dapat dipahami jika banyak sekali tanah
perkebunan tebu dikelola oleh perusahaan yang mengelola Pabrik Gula daerah
Kediri masa lalu.
Hal yang menarik dari keberadaan pabrik gula Kujonmanis adalah hal
administrasi pabrik tersebut. PG Kujon Manis fungsinya memang hanya sebagai
pembantu pabrik gula lain yang ada di Kediri, namun secara administrasi ikut
dalam pemerintah Kolonial Belanda yang ada di Kabupaten Nganjuk. PG Kujonmanis
memiliki lahan perkebunan tebu terbanyak dibanding dengan PG lain. Pada masa
kini masih banyak lahan pertanian warga maupun tanah milik desa yang ditanami
tebu.
Pada 1929, administrasi perusahaan membuat data atau arsip mulai
berdirinya pada tahun 1895. Berikut adalah data yang diperoleh dari penulusuran
sumber sejarah yang ada yaitu:
1. Tahun 1930
Pihak perusahaan memperluas tanah untuk penanaman tebu. Pabrik Gula
Kujon Manis termasuk pabrik yang berkembang pesat pada masa itu.
2. Tahun 1931
Pada tanggal 19 Juli 1931 pihak sekretaris perusahaan membuat
statistik hasil produksi maupun pengolahan tebu.
3. Tahun 1932
Pada tahun ini, hasil tanaman tebu per hektar mendapat sekitar 31
ton. Pada 5 Desember 1932, pihak pabrik bekerjasama dengan Pasuruan dalam hal
penelitian.
4. Tahun 1934
Pada 17 Desember 1934, Direktur PG Kujon manis yaitu E.W Clason
bekerjasama dengan Gesvr. Met Liem. Kemudian tanggal 19 Desember pihak
pabrik melakukan penelitian tentang tanaman tebu bersama PG Pasuruan.Sekarang
Pabrik Gula Kujonmanis ini menjadi SMPN 1 Tanjunganom(Sumber: Suiker Fabriek
(Pabrik Gula) di Nganjuk Pada Masa Kolonial Belanda,Risqi Indah
Kusbana,2015)
2.2.
Perkembangan Pabrik Gula di Nganjuk saat ini
Jika dilihat dari sejarahnya yang
panjang,beberapa pabrik gula yang ada di Kabupaten Nganjuk merupakan pabrik
yang besar dan namanya cukup dikenal di Jawa Timur. Seperti contoh pabrik gula
Jati, Juwono dan Lestari sudah memasarkan hasil produksinya ke berbagai
wilayah. Namun,seiring berjalannya waktu ada pabrik gula yang ada di Nganjuk
berhenti produksi yang diakibatkan beberapa faktor yaitu kebangkrutan pabrik tersebut,
ekspansi tentara Jepang ke Indonesia dan disita oleh pemerintah Indonesia. Dari
5 (lima) pabrik di Kabupaten Nganjuk hanya (1) PG yang masih beroperasi yaitu
PG Lestari.
2.3.
Dampak adanya Pabrik Gula bagi masyarakat
Masyarakat disekitar pabrik gula tersebut merasakan dampak yang
serupa akibat adanya PG tersebut antara lain:
ü Dengan menjadi buruh/karyawan pabrik,
masyarakat mendapat penghasilan tetap walaupun tidak sepadan dengan
pekerjaannya.
ü Pemerintah Kolonial Belanda secara
otomatis membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat
ü Akibat adanya PG ini banyak masyarakat
yang semula menganggur lalu setelah bekerja di pabrik menjadi tenaga kasar di
pabrik tersebut
ü Pemerintah Kolonial memaksa buruh pabrik
bekerja melebihi kapasitas akibat terjadinya lonjakan permintaan gula di pasar
Eropa (terjadi sekitar tahun 1900-an)
ü Tanah masyarakat banyak yang disita oleh
pihak pabrik untuk keperluan produksi, hal ini mengakibatkan masyarakat tidak
memiliki lahan perkebunan lagi untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mereka dan
cenderung bergantung pada pabrik
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa suiker fabriek atau pabrik gula yang ada di
Kabupaten Nganjuk sudah mulai berdiri sejak abad ke-18. Pemerintah Kolonial
Belanda membuka kesempatan yang lebar bagi para investor untuk berinvestasi
dalam hal industri gula sehingga konglomerat Tionghoa banyak tertarik. Dari
penjelasan tersebut pula, sektor pencaharian masyarakat juga berubah dari yang
semula bertani murni (agraris) lalu mereka menyewakan tanahnya kepada investor
untuk digunakan sebagai pabrik dan perkebunan gula (industri).
Industri gula di Kabupaten Nganjuk
dimulai dengan berdirinya 5 (lima) pabrik gula, yaitu PG Juwono, PG Lestari, PG
Baron, PG Kujon-Manis dan PG Jati. Masyarakat di sekitar pabrik juga merasakan
dampak yang luar biasa dengan adanya pabrik-pabrik gula tersebut, salah satunya
masyarakat semakin mengenal cara pengolahan tebu yang benar hingga menjadi
bahan pemanis. Selain itu, masyarakat juga berpenghasilan tetap dengan bekerja
menjadi buruh di pabrik walaupun upah yang diberikan tidak sepadan dengan kerja
keras mereka selama menjadi buruh pabrik.
Dampak juga dirasakan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda karena dengan adanya pabrik-pabrik gula ini, dapat menambah
kapita mereka dari hasil penjualan gula yang sudah diekspor hingga pasaran
Eropa, namun pada sisi lain rakyat juga merasa dirugikan karena tanah yang digunakan
untuk perkebunan disewa dengan harga yang sangat murah sehingga mau tidak mau
mereka harus bekerja menjadi buruh pabrik untuk menambah penghasilan mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Risqi Indah Kusbana, Suiker Fabriek Di Nganjuk Pada Masa Kolonial
Belanda,Tahun 2015.
·
Arsip Perpustakaan Ngatas Angin berupa arsip Belanda yaitu :
ü Dokumen Suiker Fabriek Djati Kabupaten
Nganjuk
ü Dokumen Suiker Fabriek Djoewono Kabupaten
Nganjuk
ü Dokumen Suiker Fabriek Kudjon Manis
Kabupaten Nganjuk
ü Dokumen Suiker Fabriek Baron
ü Dokumen Suiker Fabriek Lestari
·
Kusuma, A. 2010, Sejarah
Keberadaan Pabrik Gula di Indonesia.
·
Rekohadi, D. 2012, 11 Pabrik
Gula Jadi Heritage.
·
PTKPN XV-XVI, 1988.
Perusahaan-Perusahaan Gula di Indonesia.
·
Cahyono, 2005. Sejarah Penyebaran
Tebu.
·
Eriawati, 1989, Bukti-Bukti
Arkeologis Indonesia Sebagai Tempat Asal Tanaman Tebu
·
Murbyanto, 1986, Indonesia
Penghasil Gula Terbesar di Dunia.
·
Kartodirjo, 1994, Industri
Gula di Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)