Jerman dan Jepang, keduanya sama-sama negara
makmur. Sama-sama diawali huruf J (maksa banget deh he..he..) dan sama-sama
negara penguasa teknologi canggih. Di masa silam mereka juga sama-sama pelaku
perang besar. Lalu apa beda di antara keduanya ? Tahun 1991, sejarah tercipta
di Jerman.
Dengan elegannya parlemen Jerman menyampaikan
secara resmi pernyataan nasional mengenai permintaan maaf mereka kepada dunia
atas sepak terjangnya mereka di masa silam terutama dalam Perang Dunia II yang
sudah membuat dunia menderita. Mereka juga meminta maaf atas kejahatan
kemanusiaan yang mereka lakukan, yaitu genosida terhadap kaum Yahudi, kaum
Gipsi dan para penyandang cacat. Setelah menyampaikan permintaan maaf mereka
mengheningkan cipta untuk semua korban kekejaman mereka di masa lalu.
Jika Jerman dengan rendah hati meminta pengampunan kepada korban-korbannya,
Jepang tidak.
Memang mereka mengakui sebagai aktor Perang
Pasifik. Mereka memang mengakui adanya Jugun Ianfu maupun Romusha. Mereka
memang sudah memberikan kompensasi perang kepada pemerintah sebagian negara
yang dibuat menderita oleh Perang Pasifik. Tapi ada satu yang tidak mereka
lakukan. Mereka tidak mengakui kesalahan kolektif sebagai bangsa dan mereka
tidak pernah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan nasional mengenai
semua kejahatan di masa lalu. Sebagaimana karakter orang Timur yang memegang
teguh harga diri, alih-alih meminta maaf secara terbuka Jepang lebih memilih
memberikan kompensasi uang atau bunuh diri untuk menebus kesalahannya.
Itulah
yang membedakan Jerman dengan Jepang. Bila Jerman sekarang bagaikan sudah bebas
dari belenggu masa lalu dan bebas bergerak ke masa depan, maka Jepang tetap
terbelenggu oleh masa lalu. Teriakan demonstran para mantan Jugun Ianfu tetap
bergema ke arah Tokyo, terutama di setiap bulan Agustus. Ketegangan masih
mewarnai hubungan Jepang dengan Cina, Korea Utara maupun Korea Selatan. Apalagi
dalam perkembangan terakhir mereka mulai merevisi sejarah nasional mereka
dengan menghapus beberapa catatan sejarah yang dinilai merugikan citra mereka.
Tampaknya walaupun sejumlah besar uang sudah
digelontorkan, beban sejarah tidak akan terangkat dari pundak negara Jepang.
Semuanya berawal karena tiadanya kerendahan hati untuk meminta maaf dan
pengampunan secara moral. Jerman, sebagaimana negara yang lain juga
memiliki kesulitan dan masalah dalam negeri yang segudang banyaknya, bahkan
mereka juga terus bergulat dengan bangkitnya gerakan Neo Nazi. Tapi mereka
menindaklanjuti permintaan maaf dengan tindakan nyata. Mereka membuka pintu
selebar-lebarnya kepada imigran dari Timur Tengah dan Turki sehingga populasi
keturunan Turki dan Iran cukup besar di sana. Bila trend di
negara-negara lain adalah membangun tembok pemisah, mereka malah menghancurkan
tembok Berlin pemisah persaudaraan mereka. Bila trend kebanyakan negara lain
adalah memisahkan diri atau memekarkan diri (contoh Uni Soviet, Cekoslovakia,
Yugoslavia dan lainnya), mereka malah menerapkan prinsip bahwa saudara yang
lebih mampu harus merangkul saudara yang kurang mampu. Buktinya walaupun
terjadi ketimpangan sosial ekonomi yang sangat besar, Jerman Barat tetap mau
bersatu dengan Jerman Timur. Jerman Barat yang lebih makmur mau merendahkan
diri untuk kemakmuran bersama dengan Jerman Timur. Memang mahal ongkos politik
dan sosial yang ditanggung Jerman Barat, tapi demi kemakmuran bersama mereka
rela bersatu. Bandingkan dengan Korea Utara dan Korea Selatan yang sampai
sekarang masih terus beradu. Contoh kasus yang mutakhir di Jerman adalah
penjaga gawang Timnas Jerman, Robert Enke yang bunuh diri karena menderita
depresi berkepanjangan selama 6 tahun terakhir yang disebabkan oleh
meninggalnya putri tercintanya. Lihatlah betapa dewasanya rakyat Jerman dalam
menanggapi kematian tragis seorang atletnya.
Kompas edisi 13 November 2009 menulis pandangan
publik Jerman seperti di bawah ini: “Nyonya Enke ingin agar publik tahu
bahwa kita harus belajar bagaimana membuka diri”, kata Martin Kind, presiden
Klub Hannover. “Tragedi Enke ini membuat kami berpikir, banyak hal yang telah
kami remehkan”, demikian kata Manajer Tim hannover, Joerg Schmadtke.
Tampaknya, kerendahan hati, berani meminta maaf, belajar dari kesalahan dan
bergerak maju, itulah semangat Jerman. Mari kita berkaca. Negara kita
tidak pernah meminta maaf secara terbuka kepada korban tragedi 1965. Tidak
pernah meminta maaf secara resmi kepada Aceh dan Papua. Tidak pernah meminta
ampun kepada sebagian rakyat yang sudah menderita aniaya dan diskriminasi.
Tidak pernah mengakui adanya pelanggaran HAM di masa lalu. Kita susah bergerak
maju. Kaki kita terbelenggu oleh dosa-dosa masa silam sementara mulut kita
terus berbusa mengoceh, berdebat dan mempolitisir segala sesuatu.
Mungkin kita harus lebih banyak berdoa karena
tampaknya Tuhan tidak berpihak kepada kita yang angkuh dan tidak mau mengakui
apalagi memperbaiki kesalahan. Cukuplah generasi kita saja yang dengan bodohnya
menghalangi berkah Tuhan turun ke atas kita. Jangan sampai kebodohan ini kita
wariskan kepada anak cucu kita. Maaf kalau tulisan di atas terlalu
subyektif. Anda bisa mengungkapkan persetujuan, ketidaksetujuan atau
klarifikasi mengenai apa yang saya tuliskan di atas. Ngomong-ngomong, Australia
juga mengikuti jejak Jerman. Tahun yang lalu, sang perdana menteri yang baru
beserta seluruh anggota parlemen Australia menyampaikan permintaan maaf secara
terbuka atas kekejaman mereka kepada Suku Aborigin di masa lalu. Kita lihat
saja apakah Tuhan akan memberkahi rakyat mereka setelah tindakan mereka itu.
(Dikutip dari http://www.kompasiana.com/osakurniawanilham/apa-beda-jerman-dengan-jepang_54ff225aa33311344450fb59)
(Dikutip dari http://www.kompasiana.com/osakurniawanilham/apa-beda-jerman-dengan-jepang_54ff225aa33311344450fb59)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar