Rabu, 21 September 2016

Apa bedanya Jerman dan Jepang?






Jerman dan Jepang, keduanya sama-sama negara makmur. Sama-sama diawali huruf J (maksa banget deh he..he..) dan sama-sama negara penguasa teknologi canggih. Di masa silam mereka juga sama-sama pelaku perang besar. Lalu apa beda di antara keduanya ? Tahun 1991, sejarah tercipta di Jerman.
Dengan elegannya parlemen Jerman menyampaikan secara resmi pernyataan nasional mengenai permintaan maaf mereka kepada dunia atas sepak terjangnya mereka di masa silam terutama dalam Perang Dunia II yang sudah membuat dunia menderita. Mereka juga meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan, yaitu genosida terhadap kaum Yahudi, kaum Gipsi dan para penyandang cacat. Setelah menyampaikan permintaan maaf mereka mengheningkan cipta untuk semua korban kekejaman mereka di masa lalu.   Jika Jerman dengan rendah hati meminta pengampunan kepada korban-korbannya, Jepang tidak.
Memang mereka mengakui sebagai aktor Perang Pasifik. Mereka memang mengakui adanya Jugun Ianfu maupun Romusha. Mereka memang sudah memberikan kompensasi perang kepada pemerintah sebagian negara yang dibuat menderita oleh Perang Pasifik. Tapi ada satu yang tidak mereka lakukan. Mereka tidak mengakui kesalahan kolektif sebagai bangsa dan mereka tidak pernah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan nasional mengenai semua kejahatan di masa lalu. Sebagaimana karakter orang Timur yang memegang teguh harga diri, alih-alih meminta maaf secara terbuka Jepang lebih memilih memberikan kompensasi uang atau bunuh diri untuk menebus kesalahannya.  
 Itulah yang membedakan Jerman dengan Jepang. Bila Jerman sekarang bagaikan sudah bebas dari belenggu masa lalu dan bebas bergerak ke masa depan, maka Jepang tetap terbelenggu oleh masa lalu. Teriakan demonstran para mantan Jugun Ianfu tetap bergema ke arah Tokyo, terutama di setiap bulan Agustus. Ketegangan masih mewarnai hubungan Jepang dengan Cina, Korea Utara maupun Korea Selatan. Apalagi dalam perkembangan terakhir mereka mulai merevisi sejarah nasional mereka dengan menghapus beberapa catatan sejarah yang dinilai merugikan citra mereka.
Tampaknya walaupun sejumlah besar uang sudah digelontorkan, beban sejarah tidak akan terangkat dari pundak negara Jepang. Semuanya berawal karena tiadanya kerendahan hati untuk meminta maaf dan pengampunan secara moral.   Jerman, sebagaimana negara yang lain juga memiliki kesulitan dan masalah dalam negeri yang segudang banyaknya, bahkan mereka juga terus bergulat dengan bangkitnya gerakan Neo Nazi. Tapi mereka menindaklanjuti permintaan maaf dengan tindakan nyata. Mereka membuka pintu selebar-lebarnya kepada imigran dari Timur Tengah dan Turki sehingga populasi keturunan Turki dan Iran cukup besar di sana.   Bila trend di negara-negara lain adalah membangun tembok pemisah, mereka malah menghancurkan tembok Berlin pemisah persaudaraan mereka. Bila trend kebanyakan negara lain adalah memisahkan diri atau memekarkan diri (contoh Uni Soviet, Cekoslovakia, Yugoslavia dan lainnya), mereka malah menerapkan prinsip bahwa saudara yang lebih mampu harus merangkul saudara yang kurang mampu. Buktinya walaupun terjadi ketimpangan sosial ekonomi yang sangat besar, Jerman Barat tetap mau bersatu dengan Jerman Timur. Jerman Barat yang lebih makmur mau merendahkan diri untuk kemakmuran bersama dengan Jerman Timur. Memang mahal ongkos politik dan sosial yang ditanggung Jerman Barat, tapi demi kemakmuran bersama mereka rela bersatu. Bandingkan dengan Korea Utara dan Korea Selatan yang sampai sekarang masih terus beradu.   Contoh kasus yang mutakhir di Jerman adalah penjaga gawang Timnas Jerman, Robert Enke yang bunuh diri karena menderita depresi berkepanjangan selama 6 tahun terakhir yang disebabkan oleh meninggalnya putri tercintanya. Lihatlah betapa dewasanya rakyat Jerman dalam menanggapi kematian tragis seorang atletnya.
Kompas edisi 13 November 2009 menulis pandangan publik Jerman seperti di bawah ini:   “Nyonya Enke ingin agar publik tahu bahwa kita harus belajar bagaimana membuka diri”, kata Martin Kind, presiden Klub Hannover. “Tragedi Enke ini membuat kami berpikir, banyak hal yang telah kami remehkan”, demikian kata Manajer Tim hannover, Joerg Schmadtke.   Tampaknya, kerendahan hati, berani meminta maaf, belajar dari kesalahan dan bergerak maju, itulah semangat Jerman.   Mari kita berkaca. Negara kita tidak pernah meminta maaf secara terbuka kepada korban tragedi 1965. Tidak pernah meminta maaf secara resmi kepada Aceh dan Papua. Tidak pernah meminta ampun kepada sebagian rakyat yang sudah menderita aniaya dan diskriminasi. Tidak pernah mengakui adanya pelanggaran HAM di masa lalu. Kita susah bergerak maju. Kaki kita terbelenggu oleh dosa-dosa masa silam sementara mulut kita terus berbusa mengoceh, berdebat dan mempolitisir segala sesuatu.  
Mungkin kita harus lebih banyak berdoa karena tampaknya Tuhan tidak berpihak kepada kita yang angkuh dan tidak mau mengakui apalagi memperbaiki kesalahan. Cukuplah generasi kita saja yang dengan bodohnya menghalangi berkah Tuhan turun ke atas kita. Jangan sampai kebodohan ini kita wariskan kepada anak cucu kita.   Maaf kalau tulisan di atas terlalu subyektif. Anda bisa mengungkapkan persetujuan, ketidaksetujuan atau klarifikasi mengenai apa yang saya tuliskan di atas. Ngomong-ngomong, Australia juga mengikuti jejak Jerman. Tahun yang lalu, sang perdana menteri yang baru beserta seluruh anggota parlemen Australia menyampaikan permintaan maaf secara terbuka atas kekejaman mereka kepada Suku Aborigin di masa lalu. Kita lihat saja apakah Tuhan akan memberkahi rakyat mereka setelah tindakan mereka itu.

(Dikutip dari http://www.kompasiana.com/osakurniawanilham/apa-beda-jerman-dengan-jepang_54ff225aa33311344450fb59)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar